Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Opini · 28 Jul 2016 10:24 WIB ·

Kober Mengurus NU


 Kober Mengurus NU Perbesar

NGURUS NUOleh Ulul Abshor*

TERGELITIK dengan Juri Ardiantoro, ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr) PBNU, yang menyatakan: “Untuk ngurus NU tidak diperlukan orang yang banyak waktu, tetapi orang yang bisa menyediakan waktunya”.

Pernyataan yang dibuat meme oleh akun Facebook Risalah NU pada 19 Juli 2016, paling tidak, menyiratkan tiga unsur utama, yaitu mengurus NU (organisasi), orang yang bersedia mengurus NU (struktur kepengurusan) dan adanya ketersediaan waktu (masa khidmah/masa kerja).

Menurut Juri Ardiantoro, yang bbaru saja terlipih sebagai ketua KPU pusat sampai 2017,  untuk mengurus NU hanya butuh orang yang bisa menyediakan waktunya. Artinya sesibuk apapun orang tersebut selama dia menyediakan waktunya untuk NU berarti dia bisa mengurus NU. Dalam arti yang lain, yang lebih sempit, mengurus NU bisa di waktu sela atau menyelakan waktu. Sesederhana itukah?

Dalam perjalanan Nahdlatul Ulama selama hampir 100 tahun ini. Sejak didirikannya pada 1926 oleh KH Hasyim Asy’ari dan para kiai khos lainnya, NU diurus oleh orang-orang yang mendedikasikan waktunya untuk NU, bukan disela-sela waktu luang mereka. Jika ada waktu luang ya ngurusi, jika tidak ada yang bilang waktunya tidak ada untuk mengurus NU. Tak terbayang oleh kita, jika NU diurusi oleh hanya orang-orang yang meluangkan waktunya, “yen sela”, dan “yen kober”.

Siapa yang Mengurus NU ?

Dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga NU, struktur organisasi NU dimulai dari tingkat pusat disebut Pengurus Besar (PB)  yang berada di ibukota Republik Indonesia, tingkat wilayah/provinsi disebut Pengurus Wilayah (PW), tingkat kabupaten/kota dinamakan Pengurus Cabang (PC), di tingkat kecamatan disebut Majelis Wakil Cabang (MWC), di tingkat desa/kelurahan disebut Pengurus Ranting (PR) dan di tingkat RT/RW disebut Pengurus Anak Ranting (PAR). Sementara struktur NU yang berada di luar negeri disebut Pengurus Cabang Istimewa (PCI). Adapun kepengurusan NU terdiri dari Mustasyar (Penasehat), Syuriah (pimpinan tertinggi) dan Tanfidziyah (pelaksana).

Disamping struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama yang berjenjang tersebut, di masing-masing tingkatan masih diperbantukan pula kepengurusan badan otonom yang secara kewenangan dan pengambilan kebijakannya hampir sama dengan struktur kepengurusan NU, yaitu mulai dari tingkat pusat sampai ranting. Badan otonom ini bergerak sesuai dengan jenis otonomisasinya yaitu berbasis usia dan gender. Muslimat NU untuk para perempuan yang berusia diatas 40 tahun. Fatayat NU, banom perempuan maksimal berusia 40 tahun. GP Ansor NU untuk para pemuda yang berusia maksimal 40 tahun. IPNU dan IPPNU untuk orang-orang yang masih berstatus pelajar, baik pelajar putra maupun putri.

Dalam menjalankan kegiatannya, sebagai sebuah realisasi kebijakan program kerja NU, Kepengurusan Nahdlatul Ulama masih dibantu oleh lembaga-lembaga yang bekerja berdasarkan spesialiasinya masing-masing. Diantaranya, Lembaga Falakiyah Nahdaltul Ulama (LFNU); lembaga yang bekerja menurut keahliah ilmu falak/astronomi. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) fokus menjalankan program ekonomi. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) menjalankan program kerja tentang penyebaran dakwah Nahdlatul Ulama dan masih ada lembaga yang lain yang bekerja sesuai kriteria program kerjanya masing-masing. Bahkan, AD/ART yang baru berdasarkan hasil Muktamar NU ke 33 di Jombang, memerintahkan dibentuknya Badan Khusus yang beroperasi di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Tentu saja ini semua membutuhkan perhatian yang sangat serius dalam mengelola organisasi Nahdlatul Ulama yang struktur kepengurusannya begitu luas dan menyebar di semua aspek kehidupan sosial keagamaan.

Secara khusus, anggaran rumah tangga yang baru Bab XIII Pasal 39 Ayat 7 tentang Syarat Menjadi Pengurus, mensyaratkankan untuk menjadi pengurus NU seseorang harus sudah menjalani pendidikan kader di lingkungan Nahdlatul Ulama. Hal ini menjadi penting dilakukan sebagai filterisasi dan militansi dari para ‘penyusup’ yang ingin merusak Nahdlatul Ulama dari dalam tubuh perkumpulannya sendiri, sebagaimana diperingatkan oleh Hadratusy syaih KH Hasyim Asy’ari dalam qonun assasinya dengan mengutik perkataan Sahabat Umar bin Khattab ra, “Agama Islam hancur oleh perbuatan orang munafik dengan Alquran”.

Masa Khidmah

KH Hasyim Asy’ari, sebagai rais akbar Nahdlatul Ulama, mengajak kepada kita semua untuk masuk kedalam organisasi ini dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga, dengan mengikutsertakan segenap seluruh pengikut, baik golongan orang-orang fakir miskin, para pemilik harta, rakyat jelat, orang-orang kuat, secara berbondong-bondong. Mengapa harus masuk NU? Karena ini adalah jamiyah yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. NU terasa manis di mulut orang-orang yang baik dan terasa pahit/getir di tenggorokan orang-orang yang tidak baik.

Sangat jelas diisyaratkan oleh pendiri NU ini, bahwa untuk mengurus organisasi ini hal pokok yang dibutuhkan adalah cinta, rukun dan bersatu dengan ikatan jiwa dan raga, sebagaimana dalam teks baiat “menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam rangka ikhtiar…” dalam mengurus Nahdlatul Ulama. Karena NU memiliki tujuan yang jelas, arah yang jelas sebagaimana dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, yaitu: untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia.

Sebagai jam’iyyah diniyyah islamiyyah ijtimaiyyah (organisasi sosial keagamaan Islam), NU mencita-citakan berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.

Adanya tujuan yang ingin dicapai perkumpulan diperlukan adanya langkah-langkah strategis, perencanaan yang matang dan mapan, pencapaian target, dan lain sebagainya, tidak semata-mata bisa dilaksanakan secara serampangan dan tanpa aturan waktu. Untuk itu, NU memberi batasan waktu kepengurusan selama lima tahun dan untuk selanjutnya dapat dipilih kembali.

Sebagai pungkasan dari tulisan ini, tiga inti pernyataan Juri Ardiyantoro tersebut ternyata mengharuskan seseorang meletakkan perhatian seriusnya dalam mengurus perkumpulan Nahdlatul Ulama. Itu artinya NU membutuhkan orang-orang yang secara khusus bersedia dan menyediakan waktunya untuk mengurusi perkumpulan ini. Sehingga bakal terwujud sebuah harapan bahwa jamiyah ini adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan. (*Penulis adalah sekretaris tanfidziyah PCNU Jepara/ms)

Artikel ini telah dibaca 34 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Mengurai Kontroversi Zakat Fitrah dengan Uang

25 April 2022 - 03:14 WIB

Trending di Hujjah Aswaja